Puasa, Lebaran, dan Pajak

PUASA dua pekan lagi. Namun, efeknya mulai terasa sekarang. Berita di salah satu koran nasional menyebutkan, omzet penjualan retail berpotensi melonjak. Diperkirakan, omzet pengusaha retail pada bulan puasa akan melonjak 50 persen daripada bulan biasanya. Bahkan, penjualan pada bulan puasa dan masa Lebaran nanti diprediksi akan menyumbang 20-30 persen dari target penjualan setahun.

Fenomena unik itu mungkin hanya terjadi di Indonesia. Alur perputaran barang dan orang akan begitu cepat pada masa puasa ini dan akan mencapai puncaknya ketika mendekati Lebaran. Akan semakin banyak uang yang beredar dan sebagian besar alurnya akan menggeliat dari kota ke desa. Akibatnya, roda perekonomian perdesaan semakin terdongkrak dan bergairah. Uang akan dihabiskan untuk belanja barang-barang konsumtif seperti membeli pakaian baru, berwisata, atau berlibur.

Kondisi tersebut mengalahkan semua teori ekonomi yang ada. Kesulitan ekonomi, yang diindikasikan dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, akan terabaikan dengan adanya fenomena puasa dan Lebaran nanti. Semua masyarakat akan melupakan persoalan dasar pada dirinya, hanya fokus untuk menyiapkan diri menyambut puasa dan Lebaran. Karena itu, jangan heran, semua orang akan menjadi lebih konsumtif dan membelanjakan uangnya, termasuk menggerus tabungannya.

Bulan tersebut menjadi krusial secara ekonomi. Sebab, akan ada peledakan geliat ekonomi di Indonesia. Semua rangkaian kegiatan usaha terimbas dampaknya. Mulai produsen, pedagang retail, pedagang eceran, kios-kios, warung-warung, sampai pedagang kaki lima.

Pajak Naik

Fenomena tersebut juga menjadi perhatian Ditjen Pajak. Ketika ekonomi menggeliat sedemikian besarnya dan perputaran uang semakin besar, di situ ada potensi pajak yang bisa digali. Potensi tersebut semakin penting karena diperkirakan penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) 2010 hanya mencapai 99,4 persen dari target sebesar Rp 743,3 triliun atau Rp 738,9 triliun (Kompas, 27 Juli 2010). Sampai 26 Juli 2010, penerimaan pajak baru mencapai 48,08 persen atau Rp 291,4 trilun. Kondisi itu membuat Ditjen Pajak mau tidak mau harus menemukan sumber potensi baru untuk menggali pajak.

Ada dua jenis pajak yang diperkirakan meningkat tajam seiring dengan kondisi tersebut. Pertama, setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 atau pembayaran angsuran pajak. Itu dimungkinkan karena perhitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasar kondisi tahun lalu. Nah, karena omzet penjualan naik, otomatis terjadi peningkatan jumlah keuntungan. Walaupun nanti diperhitungkan pada akhir tahun, Ditjen Pajak bisa saja menghitung ulang angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dengan data terkini.

Kedua adalah jenis pajak pertambahan nilai (PPN). Karena merupakan pajak konsumsi, secara langsung PPN akan meningkat bila terjadi peningkatan omzet. Secara sederhana, 50 persen peningkatan omzet penjualan juga akan mendongkrak penerimaan PPN 50 persen. Apalagi, barang favorit yang dikonsumsi selama periode tersebut pastilah barang kena pajak yang memiliki PPN. Perhitungan sederhana untuk Matahari dan Hypermart yang mempunyai target penjualan 2010 sebesar Rp 17 triliun (Koran Tempo, 28 Juli 2010), PPN-nya akan berkisar Rp 1,7 triliun. Karena sumbangan penjualan selama periode puasa dan Lebaran rata-rata 30 persen dari target, sumbangan penerimaan PPN juga akan signifikan pada periode tersebut.

Dilihat per sektor, selain sektor perdagangan yang akan mengalami lonjakan omzet penjualan, sektor jasa perhotelan dan hiburan akan mengalami hal serupa. Liburan Lebaran yang cukup lama akan dimanfaatkan sebagian masyarakat untuk berlibur. Akibatnya, tingkat hunian hotel meningkat tajam dan berarti ada peningkatan omzet. Sektor perhotelan itu akan menyumbang Pajak Penghasilan Pasal 25 dan pajak pemotongan pemungutan. Sangat lumrah jasa perhotelan juga melibatkan subkontraktor atau rekanan sehingga ada potensi pajak penghasilan atas jasa (pasal 23).

Hambatan

Hambatan yang mungkin muncul untuk jenis pajak penghasilan adalah wajib pajak (WP) tidak akan secara langsung menaikkan angsuran pajaknya sesuai kenaikan omzetnya. Di sinilah diperlukan peran petugas pajak untuk meneliti, membandingkan, uji silang, dan konseling kepada wajib pajak.

Karena itu, Ditjen Pajak seyogianya fokus pada wajib pajak sektor retail dalam kurun waktu sebulan setelah periode puasa dan Lebaran berakhir. Selanjutnya, petugas pajak akan memiliki data kenaikan omzet tersebut dan membuat perhitungan berapa kenaikan angsuran pajak penghasilannya.

Untuk pajak pertambahan nilai, harus dipastikan dulu bahwa setiap wajib pajak yang bertransaksi sudah menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Sebab, dengan menjadi PKP, mereka wajib memungut PPN dari konsumen dan membayar kekurangan PPN yang ada kepada negara.

Selama ini, kebocoran PPN paling banyak terjadi karena belum semua wajib pajak sektor perdagangan (termasuk retail) berstatus PKP. Ditjen Pajak bisa segera meneliti dan memastikan bahwa semua WP sektor perdagangan sudah menjadi PKP. Walaupun ada batas minimal omzet sebagai PKP, pada prinsipnya, semua WP bisa dikukuhkan sebagai PKP.

Selain itu, analisis perpajakan per sektor yang diperkirakan booming terus dipertajam. Agustus ini setidaknya harus fokus pada sektor perdagangan, khususnya retail, dan jasa perhotelan serta hiburan. Akhir tahun, pada masa liburan panjang, sektor perhotelan harus lebih difokuskan untuk digali potensinya.

Dengan potensi pajak yang cukup besar dan strategi yang baik, dapat diyakini sumbangan penerimaan pajak periode puasa dan Lebaran serta periode akhir tahun akan cukup signifikan. Diharapkan, hal itu akan membuat penerimaan pajak 2010 bisa mencapai target. (*)

Sumber : Jawa Pos ( Opini ) Jum’at, 30 Juli 2010

Oleh : Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

1 Response to Puasa, Lebaran, dan Pajak

  1. Betul..betul.. pajak yang besar, kalau pemanfaatannya tepat untuk kesejahteraan rakyat, kita setuju dan sukseskan pajak, ditunggu kunjungan baliknya.

Leave a comment