Melawan Modernisasi Kejahatan

DUA aparat keamanan yang bertugas terkapar bersimbah darah tertembus muntahan peluru senapan perampok bank di Medan. Yang satu kritis dan satu lagi tewas secara mengenaskan (Jawa Pos, 19/8/10).

Akhir-akhir ini, kejahatan di negeri ini semakin mengerikan dan tragis. Waktunya pun tidak lagi terbatas pada momen tertentu. Setiap detik kejahatan selalu terjadi. Bahkan, di saat siang, ketika ruang publik dipadati banyak orang. Ironisnya lagi, mereka sangat tega menganiaya korbannya di depan mata publik. Tidak sedikit pelaku kejahatan itu yang memiliki senjata api. Ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Dari mana senjata api itu mereka dapatkan?

Memang, beberapa tahun lalu wacana kepemilikan senjata api oleh masyarakat umum sangat banter terdengar. Bahkan, banyak anggota legislatif kita yang mendukung wacana ini demi alasan keamanan diri (self safety). Bagi orang-orang penting, terutama pejabat ataupun pemilik modal ekonomi, aspek keamanan adalah hal yang sangat urgen. Hidupnya selalu dalam bahaya dan ancaman dari lawan bisnis dan musuh politiknya. Di negara-negara maju, kepemilikan senjata api bagi pejabat sekaligus pengusaha diperbolehkan asal memenuhi persyaratan administrasi dan psikologis.

Dalam sejarah politik di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, India, Jepang, dan China, keamanan pejabat negara adalah skala prioritas. Hal ini bukan hanya para pejabat negara ataupun politikus itu berada dalam ancaman lawan politiknya, tapi juga karena adanya ancaman dari rakyat yang sakit hati, baik secara kolektif ataupun personal karena kebijakan dan visi-misi politiknya.

Di sisi lain, dengan ideologi pasar bebas dan liberalisme ekonomi, bisnis senjata api di negara maju menjadi tidak terhindarkan lagi. Senjata api tak ubahnya mainan anak kecil yang bisa dengan mudah didapatkan oleh orang banyak di pasaran.

Dari situasi sosial itulah, muncul pepatah kontemporer yang mengatakan The behind the guns (nilai guna senjata bergantung pada si pemiliknya). Hanya, kehidupan yang serbaliberal itulah yang kemudian membuat rakyat kecil dengan mudah membunuh siapa saja yang dianggap menghalangi kepentingannya. Tidak peduli berhadapan dengan siapa saja, termasuk pejabat negara. Tak heran dalam sejarah negara maju banyak kasus penembakan tokoh politik dan pejabat negara oleh orang sipil dan rakyat jelata.

Namun, negeri ini sangat beruntung karena kukuhnya norma dan ikatan solidaritas sosial masyarakatnya. Dengan demikian, ancaman kejahatan ataupun pembunuhan bisa diminimalkan dengan adanya nilai-nilai relegiusitas dan hukum sosial (baik tertulis ataupun lisan). Jadinya, wacana kepemilikan senjata api untuk umum pun menjadi pupus. Lantas, dari mana mereka (pelaku kejahatan) bisa memiliki senjata api dalam beraksi? Ini adalah persoalan serius yang perlu dikaji bersama.

Dulu, pelaku kejahatan masih bercorak tradisional dan lokalitas. Mereka sering mengunakan alat-alat bantu kerja yang bersifat keetnisan, seperti celurit di Madura, parang di Ambon, golok di Jabar, dan lain-lain. Target sasarannya pun tertentu, yakni orang-orang kaya yang suka memeras rakyatnya. Seiring merambahnya modernitas di Indonesia, tradisionalitas itu berubah ke arah yang teknis-modern. Banyak produk luar yang bisa masuk ke Indonesia secara ilegal, termasuk senjata api. Sehingga, kedudukan penjahat dengan aparat keamanan tidak lagi timpang dari aspek persenjataan.

Abrahansem (2000) pernah mengatakan bahwa neoliberalisme adalah anak kandung kapitalisme yang menjadikan suasana ketidakamanan sebagai komoditas ekonomis. Di negara Timur Tengah seperti Iran, Iraq, dan Taliban, pasokan senjata api kelas dunia sangat melimpah. Hal ini disebabkan adanya “pialang perang” yang dipelopori pengusaha “hitam”, pelaku kejahatan global dan anggota militer. Tripartit “perang” inilah yang mengambil kesempatan di negara-negara yang mulai kacau balau aspek keadilan, hukum, politik dan keamanannya.

Di negeri kita, dimensi ketimpangan ekonomis, ketidakadilan hukum, dan kekacauan politik saat ini mulai terasa aromanya. Korupsi merajalela, politikus mulai krisis sensitivitas populisnya, hukum bisa dibeli, pelayanan publik semakin mahal, dan kemiskinan di mana-mana. Ketimpangan sosial-politik-ekonomis inilah yang menyebabkan kehidupan rakyat di berbagai daerah semakin menderita. Akibatnya, mereka menjadi apatis dan sarkaistik dengan kehidupan bangsa ini.

Hukum yang seharusnya menjadi tiang terakhir bagi keadilan masyarakat justru tak lagi memihak mereka. Akibatnya, tumbuhlah psikologi sakit hati massa terhadap hukum itu sendiri. Makanya, muncullah ketidakpercayaan hukum dari sebagian besar rakyat. Akhirnya, kondisi ini sangat mudah melahirkan aksi kejahatan di sejumlah daerah.

Munculnya aksi kejahatan yang semakin modern dan beringas, tentu bukan sekadar kesalahan aparat keamanan. Pihak kepolisian kita sudah sangat bekerja keras membasmi kejahatan. Hanya, pihak kepolisian kita bekerja di tingkat permukaan: menangkapi dan menghukum pelaku kejahatan. Sementara, akar kejahatan yang disebabkan oleh dimensi ekonomis, neoliberalisme, dan politik adalah persoalan serius yang seharusnya dipecahkan oleh pemerintah/negara.

Tentu, negara harus bekerja sama dengan elite-elite strategis. Elite strategis bukanlah elite yang duduk di kursi kekuasaan formal seperti legislatif, bupati, gubernur, atau lainnya. Elite strategis ini adalah sekelompok tokoh informal yang memiliki modal kultural, seperti tokoh agama, guru, termasuk para jagoan lokal seperti blater-bhejing di Madura, pendekar di Betawi, jago di Bali, dan sebagainya.

Memang, ada kesan yang kuat bahwa para jagoan lokal itu adalah pelaku kekerasan-kejahatan itu sendiri. Namun, yang perlu ditegaskan bahwa di dalam komunitas mereka juga terdapat stratifikasi sosialnya (Raditya, 2008). Artinya, ada sosok yang populis dan ada yang oportunis. Negara/pemerintah tentu harus mencari sosok jagoan lokal asketik yang tidak lagi berpikir pragmatis dalam menjalankan perannya. Mungkinkah? (*)

Sumber : Jawa Pos ( Opini ) Jum’at, 20 Agustus 2010

Oleh : Ardhie Raditya, sosiolog perbanditan dari FIS Unesa

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

1 Response to Melawan Modernisasi Kejahatan

  1. good blog..nice post..:)
    Salam kenal..ditunggu kunjungan baliknya..

Leave a comment