AHAD lalu (26/9/10 ), Anwar Ibrahim diundang berbicara dalam ”Kuliah Umum Forum Sugeng Sarjadi” di Jakarta dengan mengangkat tema Reformasi Politik di Malaysia. Meski Anwar adalah tokoh partai oposisi Malaysia, garis besar ucapannya masih logis disimak. Berkaitan dengan ”kisruh Indonesia-Malaysia”, dia menggarisbawahi dua hal.
Pernyataan Anwar tersebut, tentu sangat kontekstual dengan hubungan Indonesia-Malaysia yang belakangan kembali memanas. Terutama yang terkait dengan insiden yang laten: masalah penyiksaan terhadap seorang TKI. Seorang TKI bernama Winfaida diperkosa dan disiksa majikan India-Malaysia.
Sebagai bentuk solidaritas atas nasib yang menimpa Winfaida, sebagian di antara kita marah dan menghujat Malaysia. Padahal, hal itu tidak terjadi begitu saja. Namun, ada persoalan politik di internal Malaysia yang bisa jadi melatarbelakangi tragedi tersebut.
Perjuangan Mahathir
Budayawan Malaysia Khallid Saleh menilai, Malaysia baru merdeka yang sesungguhnya adalah sesudah Mahathir Mohamad berkuasa dan menjalankan politik ”bumiputra sebagai tuan rumah negara sendiri”. Jadi, tidak pada 31 Agustus 1957 seperti yang resmi dideklarasikan.
Sebelum Mahathir berkuasa, kondisi Malaysia persis Indonesia. Yakni, bumiputra adalah budak di negeri sendiri. Orang asing adalah tuan terhormat yang merampok kekayaan negara yang bekerja sama dengan segelintir elite pemerintah.
Hal itu memang sudah diskenariokan oleh pemerintah penjajah Inggris. Malangnya lagi, kemerdekaan Malaysia diberi oleh Inggris, tidak direbut dengan perang seperti di Indonesia. Karena itu, kondisi sosial-politiknya lebih parah daripada Indonesia.
Budayawan Malaysia Prof Ismail Hussein mengenang, dirinya menjadi mahasiswa beretnis Melayu pada zaman awal kemerdekaan adalah sebagai minoritas. Mayoritas mahasiswa adalah orang kulit putih, orang Tionghoa, dan orang India.
Baru setelah Mahathir berkuasa, kondisi itu dibalik. Kaum bumiputra Melayu diberi keistimewaan beasiswa, sehingga kini kondisi kaum Melayu menjadi mayoritas terdidik, seimbang dengan kaum Tionghoa dan India yang tetap mayoritas juga.
Demikian juga di bidang politik, politikus Melayu mampu menjadi mayoritas. Politikus Tionghoa dan India yang ekstrem, yang anti-Islam dan anti-Melayu, bahkan tertendang dari kekuasaan, sedangkan mereka yang pro-Melayu direkrut Mahathir di Barisan Nasional.
Pasca-Mahathir
Ketika Mahathir mundur, kondisi itu dimanfaatkan musuh-musuhnya. Anwar Ibrahim yang menjadi musuh utama Mahathir mengambil kesempatan dengan merekrut partai ekstrem Tionghoa dan India agar ikut masuk barisan Pakatan Rakyat yang menjadi oposisi utama menentang Barisan Nasional. Ditambah pula bersekutu dengan PAS, partai Islam berkacamata kuda, oposan klasik UMNO.
Ketika Pakatan Rakyat menang pemilu secara dramatis, meski belum dapat menguasai kursi pemerintahan, kursi parlemen dapat mereka kuasai secara sangat signifikan.
Politisi Tionghoa dan India garis keras yang diuntungkan oleh politik Pakatan Rakyat lalu mulai ”membalas dendam”. Mereka mulai menghajar kaum Melayu dan semua yang berunsur Islam. Mereka mengusir para pedagang kelas bawah Melayu, memboikot koran-koran Melayu dan Islam, menghina kekuasaan raja-raja Melayu, menyensor khotbah Jumat, dan sebagainya.
Mereka mencoba mendiamkan kasus-kasus membanjirnya imigran gelap dari negara-negara ”jaringan” Tiongkok dan India atau imigran dari Myanmar, Tibet, dan Thailand yang nonmuslim. Sebaliknya, mereka mendiamkan para majikan Tionghoa dan India menyiksa TKI-TKI di Malaysia. Ternyata, pers Indonesia mengembus-embuskan citra bahwa yang menyiksa TKI adalah sesama rumpun Melayu, bukan etnis lain.
Belum lagi, kini persoalan yang amat serius di Malaysia adalah merebaknya gangster-gangster etnis India yang amat terkenal ganas dan kejam kalau membunuh mangsanya. Menurut peneliti Malaysia, anak muda gangster India-Malaysia itu ganas karena terlalu sering menonton film-film Tamil yang banyak menonjolkan perkelahian, pembunuhan, minuman alkohol, dan seks bebas, tapi tanpa ending yang menonjolkan moral.
Kini, politisi Melayu Malaysia terjepit. Di dalam negeri dihajar politisi Tionghoa dan India yang ekstrem, di luar negeri dihajar saudaranya sesama rumpun.
Melihat realitas tersebut, menurut saya, jalan terbaik adalah para budayawan membentuk LSM antarbangsa serumpun untuk menjembatani kesalahpahaman yang semakin parah itu. Dan, Lesbumi PB NU memang sedang merancang agenda ke arah kerja sama serumpun tersebut.
Mengharap peran aktif antar pemerintah dua negara untuk menyelesaikan kasus perseteruan itu akan sangat sulit. Sebab, pada masa pasca-Mahathir ini, negara Malaysia sedang dikuasai ”musuh-musuh bersama”.
Jadi, ”musuh-musuh” itulah yang makan nangkanya, tapi rumpun Melayu yang dilempari getah-getah lengket oleh saudaranya dari Indonesia. Itulah kisah Nusantara sejak zaman Sriwijaya-Majapahit sampai zaman penjajahan bangsa Eropa, ternyata sampai kini pun tidak berubah, mereka masih saja bisa ditipu politik divide et impera!
Oleh : Viddy A.D. Daery, pengurus bidang hubungan luar negeri Lesbumi-NU. Tulisan ini pendapat pribadi.