Mencari Guru Rebana di Swiss

SEJAK menjabat duta besar Republik Indonesia untuk Republik Konfederasi Switzerland pada Maret 2010, saya menerapkan kebijaksanaan ”pintu terbuka”. Yakni, warga Indonesia bisa melakukan kegiatan di kediaman resmi Dubes (Wisma Indonesia) yang terletak di Kampung Gumligen, pinggiran Kota Bern.

Salah satu yang sudah berjalan adalah pengajian bulanan. Khusus selama Ramadan, ada acara buka puasa dan salat tarawih setiap Sabtu. Kegiatan tersebut dikoordinasi oleh jamaah pengajian An Nuur.

Pengajian An Nuur baru dibentuk sekitar dua tahun, meski Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) sebagai wakil pemerintah RI di Swiss sudah ada sejak 1952 dengan Dubes pertama Dr E.J. Helmi.

Hitung-hitung sebelum saya menjabat, sudah ada 16 orang yang memangku jabatan Dubes RI di Swiss. Saya sempat bertanya ke berbagai pihak mengapa begitu lama tidak ada jamaah pengajian di antara warga Indonesia. Jawabannya klasik: Tidak ada ustad yang bisa mengajar agama Islam untuk warga Indonesia di Swiss.

Saya beruntung, pendahulu saya, Dubes Indro Yuwono, sebelum mengakhiri tugas dan pulang ke Indonesia sempat mengambil langkah drastis dengan merekrut Desrial Anwar menjadi staf lokal KBRI. Tamatan Pondok Pesantren Gontor yang juga alumnus Al Azhar University itu sekaligus menjadi ustad untuk warga Indonesia di Swiss.

Setahap demi setahap, warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Swiss itu kembali belajar agama Islam. Karena itu, jangan heran jika kebetulan ke Swiss dan hadir dalam sebuah acara pengajian, Anda akan menyaksikan seorang nenek belajar mengaji bareng cucunya. Sebagian di antara mereka adalah Indo blasteran dengan orang Swiss.

Misalnya, yang terjadi pada Sabtu lalu, Wisma Indonesia ramai dengan anak-anak dan orang tua yang belajar mengaji sejak pukul enam sore (di Swiss buka puasa pukul 20.30). Masing-masing belajar sesuai kemampuannya. Ada yang masih berusaha mengenali alif ba taa atau huruf hijaiyah. Ada yang sudah di level belajar tajwid dan makhroj-nya. Ada juga yang belajar qiroaat-nya.

Tidak semua yang hadir belajar mengaji adalah orang Melayu. Ada juga yang berwajah bule. Misalnya, Abdul Jabbar, muslim Swiss yang menikah dengan warga asal Aceh. Dia malah termasuk yang sungguh-sungguh belajar mengaji dan menjalankan ibadah lain. Saya lihat, setiap salat fardu yang dia kerjakan selalu diikuti salat sunah rawatib.

Sebenarnya, menurut saya, orang Swiss itu sudah menjalankan ajaran Islam bahkan mungkin lebih baik dari warga Indonesia yang sudah muslim. Di tingkat pemerintahan, korupsi sangat rendah. Mulai presiden sampai pegawai terendah memberikan layanan maksimal secara sungguh-sungguh kepada siapa saja. Anggota DPR-nya juga tidak ada yang membolos.

Semua perjanjian selalu ditepati. Begitu juga, jadwal apa saja selalu on time. Saking terkenal ketepatan akan waktu, jadwal bus, trem, atau kereta api sampai terlambat 15 menit saja sudah menjadi headline di koran-koran setempat.

Orang Swiss juga terkenal jujur. Belum lama ini, HP anak seorang pejabat Indonesia tertinggal di sebuah toko. Dia baru teringat setelah sampai di Jakarta. Ketika staf KBRI mengecek, ternyata barang tersebut masih disimpan dengan baik oleh staf toko.

Jangan tanya soal kebersihan dan kedisiplinan di jalan. Kalau kita bandingkan dengan perilaku kita di tanah air, kita akan malu sendiri. Jadi, intinya, orang Swiss sudah menjalankan ajaran Islam meski mereka belum muslim. Sebaliknya, di Indonesia, banyak yang mengaku muslim tapi tidak menjalankan ajaran Islam. Sudah menjadi salah satu tugas saya untuk membina warga Indonesia agar mereka menjalankan ajaran Islam dengan baik.

Terus terang, para warga Indonesia yang hadir dalam pengajian menyatakan bersyukur bahwa akhirnya mereka bisa kembali ke akarnya sebagai muslim. Karena itu, meski background saya dari kalangan Muhammadiyah, pada acara buka puasa pekan lalu, saya mengusulkan diadakannya acara bacaan salawat dan puji-pujian sebelum salat berjamaah.

Saya malah sedang menggagas dibentuknya grup rebana atau hadrah di Swiss. Kesulitan saya adalah belum mendapat pelatih yang mau mengajari main rebana di Swiss. Maklum, bagi sebagian orang di kalangan saya, main rebana atau hadrah dianggap makruh. Jadi, meski keinginan itu begitu kuat, sementara terpaksa saya tahan.

Selain membentuk grup hadrah dan rebana, saya sebenarnya mengimpikan bisa mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di kalangan pelajar atau mahasiswa. Atau, menyelenggarakan acara hari-hari besar Islam layaknya di Indonesia, baik Maulid Nabi, Isra Mikraj, 1 Muharam (tahun baru Hijriah), dan sebagainya. Tapi, semua masih dalam angan-angan karena kurang sarana. Yang mungkin akan bisa segera saya wujudkan adalah melakukan salat Jumat untuk warga Indonesia.

Selama ini, kami Jumatan di masjid Turki, Arab, atau Kosovo yang khotbahnya disampaikan dalam bahasa Jerman, Arab, Turki, atau Albania. Jarang di antara kami yang fasih dalam bahasa-bahasa tersebut. Mungkin kami sedikit-sedikit mengerti bahasa Jerman, tapi jelas tidak bisa berbahasa Turki, Arab, dan Kosovo Albania. Karena itu, bagi kami, sangat mendesak untuk mengadakan jamaah salat Jumat bagi warga Indonesia.

Kadang-kadang, saya mengimpikan kami mempunyai seorang mubalig yang mendekati kualitas seorang Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang. Dua wali Allah itu terkenal tidak hanya memiliki ilmu agama tinggi dan sakti mandraguna, tapi juga menguasai kesenian dan kebudayaan. Saya yakin, Islam akan lebih bisa dikenal dengan baik melalui kebudayaan.

Saya pernah meminta bantuan kawan saya, seorang rektor universitas terkenal di Jatim, untuk mencarikan seseorang yang bisa berkesenian, mengerti agama, dan bisa menyetir tapi juga sedikit-sedikit mengerti bahasa Inggris untuk saya angkat sebagai pegawai di KBRI Bern. Ternyata, kawan rektor saya itu mengeluh: syaratnya terlalu berat. Lantas, saya bertanya bagaimana kualitas sarjana universitasnya, khususnya dari fakultas agama, kalau syarat minimal itu saja tidak terpenuhi?

Memang, hidup di negeri asing seperti Swiss sangat penuh tantangan, khususnya bagi saya sebagai duta besar. Ini berbeda dari posisi saya sewaktu di Washington DC sebagai koresponden Jawa Pos. Saat ini, saya boleh dikatakan berfungsi sebagai magnet kegiatan warga Indonesia, sehingga bebannya berbeda. Dengan keterbatasan yang ada, mau tidak mau, saya harus bisa melakukan sesuatu.

Sumber : Jawa Pos, Minggu, 29 Agustus 2010

Oleh : Djoko Susilo, mantan wartawan Jawa Pos yang kini menjadi duta besar RI untuk Swiss dan Liechtenstein

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

1 Response to Mencari Guru Rebana di Swiss

  1. arjuna says:

    saya seorang guru rebana,apakah saya bisa menjadi guru rebana di luar negri?tp saya ga bisa bahsa inggris ataupun arab karn saya cuma anak indonesia yg ngimpi pengen ke luar negri jd pengen siar dngan apa yg aku bisa,maulid,manaqib,istighosah,tahlil.pa bisa orang seperti aku ini sampai di luar negri?ini no hp saya 087 832 443 292 dari jawa semarang

Leave a comment