Selesaikan Subsidi BBM Distortif

Tulisan ini hendak membahas kondisi anggaran negara yang menghadapi jebakan rutin setiap tahun terhadap APBN. Jebakan itu tidak lain adalah subsidi yang distortif dan dinikmati oleh golongan kaya, seperti subsidi BBM. Porsi subsidi distortif ini mutlak harus dikurangi secara kreatif, kemudian dialihkan menjadi subsidi yang berguna untuk masyarakat yang memerlukan dan untuk pembangunan infrastruktur yang bermanfaat.
Tidak ada usaha kebijakan yang kuat dan sistematis untuk mengatasi distorsi itu sehingga APBN kita tidak berdaya dan tidak kondusif untuk mendongkrak peningkatan kualitas dan kuantitas pembangunan, misalnya infrastruktur.

Dalam keadaan demikian, ketika solusi atas masalah tersebut tidak bisa dijalankan, sulit bagi pemerintah mengatasi langsung masalah kritis kurangnya infrastruktur. Sementara itu, harapan untuk mendorong swasta dan asing masuk ke dalamnya masih terganjal ketidakpastian regulasi dan politik internal pemerintahan.

Dengan demikian, usaha kebijakan untuk mengurangi tekanan APBN dari distorsi subsidi BBM yang distortif sangat diperlukan pada saat ini. Pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk mengatasi masalah tersebut, tidak membiarkannya mengambang dan penuh ketidakpastian seperti sekarang ini. Jangan mengorbankan kepentingan bangsa untuk sekadar menjaga citra dan popularitas pemerintah.

Tiga Jebakan APBN

Ada tiga masalah besar di dalam APBN pemerintah yang setiap tahun menjadi jebakan sehingga membuat instrumen APBN sebagai anggaran negara menjadi rapuh dan lemah. Pertama, pembayaran bunga utang luar negeri dan utang dalam negeri yang jumlahnya setiap tahun mencapai Rp 115 triliun. Jika ditambah pembayaran pokok utang luar negeri, utang tersebut bisa menguras dana APBN Rp 160-170 triliun.

Yang kedua, dana untuk membayar pegawai di daerah maupun di pusat yang jumlahnya sekitar Rp 300 triliun. Anggaran daerah saja sudah mencapai 30 persen dari total belanja negara, yang 70-80 persen dari angka itu digunakan untuk membayar belanja pegawainya. Sisanya, sekitar Rp 725 triliun, adalah belanja pemerintah pusat, yang sebagian terjebak untuk pembayaran utang tersebut.

Ketiga, belanja yang besar dari APBN juga dikeluarkan untuk subsidi, yang jumlahnya sekitar 22 persen dari total belanja pemerintah pusat. Jumlah subsidi yang paling besar adalah subsidi terhadap bahan bakar minyak dan listrik, yang di dalamnya ada unsur subsidi minyak. Banyak di antara porsi subsidi ini yang distortif sehingga mengganggu APBN secara keseluruhan.

Subsidi minyak diperkirakan sekitar Rp 70 triliun dalam APBN 2010. Tetapi, angka ini tetap penuh ketidakpastian karena ketidakstabilan harga minyak dunia. Pada situasi kritis seperti dua tahun sebelumnya, yakni ketika harga minyak dunia naik, subsidi meningkat dua kali lipat. Subsidi bahan bakar minyak dan listrik sekaligus dalam keadaan genting bisa meningkat hampir Rp 200 triliun.

Jadi, APBN kita sebenarnya sangat rapuh karena habis terkuras untuk anggaran rutin yang jumlahnya besar. Jika dirinci kembali, sepertiga di antara anggaran sudah diserahkan langsung kepada daerah, yang merupakan perwujudan dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi keuangan. Anggaran daerah juga terjebak pengeluaran rutin yang mengikat sehingga ruang diskresinya sempit.

Sisanya adalah belanja pemerintah pusat yang juga tergerus pengeluaran rutin mengikat. Pertama, pembayaran utang luar negeri dan utang dalam negeri sebesar 16 persen. Jika pembayaran utang pokok luar negeri dimasukkan, jumlah pembayaran keduanya -utang luar negeri dan dalam negeri- menjadi lebih besar lagi. Kedua, pembayaran subsidi yang sebagian besar merupakan subsidi bahan bakar minyak, yakni sekitar 22 persen dari belanja pemerintah. Jadi, hampir 40 persen belanja pemerintah pusat digunakan untuk pembayaran utang dan subsidi.

Ketiga, belanja untuk kementerian dan lembaga, yang hampir mencapai separo dari pengeluaran pemerintah pusat. Dua pertiga di antara belanja itu juga digunakan untuk belanja pegawai sehingga tidak banyak pula ruang diskresi untuk pembangunan bidang dan sektor. Hanya tersisa 15 persen diskresi pemerintah untuk pembangunan semisal infrastruktur, yang sejatinya sangat diperlukan pada saat ini.

Subsidi bahan bakar minyak masih sangat tinggi. Jumlahnya hampir Rp 70 triliun. Kecenderungannya akan terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Jika tidak ada kebijakan yang tepat, APBN tetap akan terjerat subsidi distortif tersebut.

Pemerintah beruntung sudah dapat mengatasi subsidi minyak tanah yang mahal tersebut. Usaha itu dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengubah penggunaan minyak tanah di rumah tangga menjadi energi gas. Karena itu, subsidi minyak tanah sudah tuntas dan sedikit tersisa hanya sekitar 3,8 juta kiloliter.

Subsidi bahan bakar minyak yang masih besar jumlahnya adalah subsidi solar yang mencapai 11 juta kiloliter dan subsidi premium sebesar 21 juta kiloliter. Dua komoditas inilah, yang harus diselesaikan, yang secara teknis bisa dilakukan seperti yang sudah pernah dilakukan oleh pemerintah. Masalah ini tidak bisa dibiarkan tanpa solusi karena terus menjaga citra pemerintah dan popularitas semu tetapi mengorbankan dan menjerumuskan APBN.

Pemerintah, rasanya, berperilaku lebih baik tidak mengambil solusi apa pun terhadap masalah yang ada ketimbang harus mengambil risiko citranya jatuh di hadapan masyarakat. Politik citra jauh lebih penting ketimbang membantu menyelesaikan masalah bangsa ini. Ini berbeda kontras dengan pemimpin seperti Obama, yang menanggung risiko tidak populer untuk menyelesaikan masalah besar bangsanya, asuransi kesehatan, yang universal.

Di sini sebaliknya, banyak masalah dibiarkan mengambang dan dibiarkan tanpa solusi karena takut popularitas pemerintah jatuh. Contoh yang gampang dan sudah jelas adalah pembebasan subsidi solar yang sebenarnya tidak berhadapan dengan masyarakat luas. Paling kuat hambatannya datang dari pabrik mobil atau mesin-mesin berbahan bakar solar.

Yang lebih penting untuk diselesaikan adalah subsidi premium, yang paling besar dan paling sulit serta sering berhadapan dengan tekanan publik. Tetapi, pemerintah sudah pernah punya pengalaman untuk mengatasi masalah subsidi minyak tanah dan itu berhasil dilakukan. Banyak cara teknis untuk mengurangi subsidi premium seperti cara teknis untuk mengurangi subsidi minyak tanah.

Masalahnya terletak pada keputusan pemerintah dan keberanian untuk menjalankannya. Tetapi, pemerintah dulu berbeda dengan pemerintah sekarang. Pemerintah dulu ada JK dan sekarang tidak. Namun, tetap kita tunggu jawabannya. (*)

Sumber : Jawa Pos,  Senin, 27 September 2010 ]
Oleh :  Didik J. Rachbini, ekonom
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment