Pendidikan Antikorupsi

RENCANA kerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Pendidikan Nasional memasukkan kurikulum pendidikan antikorupsi ke sekolah dari prasekolah hingga ke perguruan tinggi tentu layak diapresiasi dan didukung. Kita berharap, upaya itu ke depan bisa mengikis budaya korupsi yang sudah sedemikian menggurita.
Meski begitu, kita tentu harus realistis bahwa masalah korupsi bukanlah persoalan sepele. Kurikulum pendidikan antikorupsi hanyalah satu strategi yang memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan strategi-strategi lain. Bila yang lain tidak mendukung, tentu sangat utopis harapan bahwa satu strategi tersebut bisa membuahkan hasil seperti yang diinginkan.

Sudah kita ketahui, di internal lembaga pendidikan saja, persoalan masih sedemikian banyak bertumpuk. Misalnya, ujian nasional (unas) yang hingga kini masih dipertahankan pemerintah masih menimbulkan persoalan serius. Antara lain, persoalan kejujuran setiap sekolah dalam melaksanakan unas.

Memang, berbagai upaya telah dilakukan penyelenggara. Namun, laporan soal kecurangan yang dilakukan guru atau penyelenggara sekolah masih saja terdengar. Hal tersebut terjadi tentu tidak semata-mata karena “tipisnya iman” sebagian guru atau penyelenggara sekolah. Namun, ada sistem yang mendorong mereka berulah begitu. Ada tuntutan dari struktur yang berjenjang ke atas agar hasil unas bagus. Selanjutnya, bagus-tidaknya unas akan berpengaruh pada dana bantuan serta karir dan promosi untuk guru, kepala sekolah, kepala dinas, kepala wilayah, dan seterusnya.

Itu hanya satu satu di antara persoalan di dunia pendidikan kita. Masih ada sejumlah persoalan yang bermuara pada ketidakjujuran. Bila persoalan-persoalan tersebut masih terus terpelihara, tentu sangat sulit menanam budaya antikorupsi ke dalam jiwa anak didik. Sebab, landasan utama budaya tersebut juga kejujuran.

Karena itu, seiring dengan pemberlakuan kurikulum pendidikan antikorupsi nanti, Kemendiknas juga harus melakukan sejumlah upaya untuk membenahi sejumlah persoalan yang ada. Kemendiknas harus mengupayakan penyelenggara lembaga pendidikan -baik guru, maupun birokrat sekolah yang lain- bisa memberikan keteladanan soal kejujuran kepada peserta didik.

Setelah segala upaya ditempuh oleh Kemendiknas, tentu institusi lain di luar kementerian itu juga harus mendukung. Lewat lembaga di setiap kementerian, mereka juga harus berupaya mendukung terciptanya budaya antikorupsi di lingkungan masyarakat. Terutama Kementerian Agama. Lembaga pimpinan Suryadharma Ali ini harus mengambil peran cukup besar.

Langkah mendesak dan strategis untuk ditempuh Kementerian Agama adalah mengoptimalkan institusi agama untuk bergerak secara serentak. Masjid, geraja, pura, kelenteng, dan sebagainya harus ”diberdayakan” dengan maksimal untuk menyebarkan virus antikorupsi.

Kementerian agama bisa memaksimalkan peran khatib (pengkhotbah) atau penceramah yang biasa mengisi siraman rohani dengan menyampaikan materi antikorupsi. Masing-masing harus mengajak jamaah atau umatnya agar menjadi pribadi atau insan antikorupsi. Dari para jamaah atau umat ini, kita harapkan terbangun masyarakat antikorupsi. Nah, dari situlah kita harapkan anak didik yang diberi pelajaran antikorupsi di sekolah tidak akan mememukan fakta-fakta yang kontradiktif di masyarakat.

Terakhir, di luar itu semua, tentu yang terpenting tetaplah para penegak hukum. Ketegasan dan kegigihan mereka dalam menghukum koruptor tetaplah menjadi kunci terkikis tidaknya korupsi di negeri ini. Tanpa dukungan korps penegak hukum itu, tentu apa pun upaya yang dilakukan pihak lain akan sia-sia. Paling tidak, tidak akan ada hasil maksimal. (*)

Sumber : Jawa Pos (Jati Diri) Selasa, 28 September 2010

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment