Mengejar Bayangan yang Melelahkan

SAYA menguber berita, kini untuk melihat sendiri proyek-proyek dan kiprah aparat pln di berbagai daerah. Kali ini, sehari setelah Lebaran lalu, saya ke Tanggari, Tonsa Lama, PLTS Bunaken, Lahendong, Amurang (semuanya di Sulut), lalu ke Gorontalo, dan terus jalan darat lagi semalam suntuk ke Paleleh dan Buol. Disambung lagi ke Palu dan Mamuju. Terus jalan darat lagi ke Poliwali dan Barru.

Perjalanan ini baru berakhir di Makassar setelah tiga hari tiga malam hampir tanpa henti. Sambil menikmati guncangan mobil, ternyata banyak gagasan bisa lahir. Ide-ide itu bisa didiskusikan sepanjang jalan. Apalagi, dalam perjalanan ini ikut pula para pimpinan PLN setempat termasuk, General Manager Wilayah Sulteng-Sulut Wirabumi, General Manager wilayah Sulsel dan Sutra Ahmad Siang, serta para kepala cabang PLN setempat. Jalan darat dari Gorontalo ke Buol sangat menyiksa (harus beberapa kali berhenti karena mobil masuk kubangan atau tidak kuat menanjak). Di situlah seninya sebuah tantangan. Di perjalanan inilah ide untuk mengubah fungsi beberapa PLTA di Sulut lahir. PLTA Tonsa, Tanggari I, Tanggari II, dan Tanggari III (Sawangan) sebaiknya hanya akan dijadikan penyangga untuk beban puncak (picker) atau semi-picker. Tidak perlu lagi dijalankan 24 jam seperti selama ini. Air dari Danau Tondano yang indah itu bisa dihemat. Dengan demikian, problem tahunan yang muncul setiap musim kemarau akan bisa diatasi. Setiap musim kemarau terjadi krisis listrik di Sulut karena jumlah air tidak cukup besar untuk menggerakkan turbin-turbin di sepanjang aliran sungai itu. Saya sangat terkesan pada PLTA Tanggari ini. Bukan karena besarnya, melainkan sejarahnya. Sejarah masa lalu maupun masa kini. PLTA paling atas di Tanggari ini dibangun sebelum Indonesia merdeka. Sampai sekarang masih bisa berfungsi. Turbinnya General Electric dan bangunannya dari kayu. Masih kukuh. Di sana-sini masih tersisa lubang peluru pertanda PLTA ini pernah jadi medan pertempuran. Banyak gua persembunyian Jepang di pegunungan dekat Air Madidi (Manado) ini. Ide mengubah fungsi PLTA Tanggari tentu baru bisa dilaksanakan setelah proyek PLTU Amurang selesai dibangun pertengahan tahun depan. Tepat sebelum musim kemarau tiba. Maka, saya pun meninjau proyek PLTU Amurang. Benarkah segera jadi. Turbin, boiler, dan deminnya memang sudah siap. Tapi, setelah saya cek, ternyata batu tahan apinya belum tiba. Padahal, memasang batu tahan api di dinding ruang pembakaran itu tidak bisa selesai satu bulan. Tidak mungkin unit 1 PLTU Amurang (proyek 10.000 MW) ini bisa selesai akhir tahun ini. Dari sini saya harus meninjau proyek PLTU Gorontalo. Perkembangan proyek ini ternyata masih berakit-rakit ke hulu. Proyek ini lama tertunda karena selalu ada masalah tanah. Ketika akhirnya lokasi yang aman dari sengketa ditemukan, senangnya bukan main. Tapi, kesenangan itu hanya sesaat. Begitu diadakan sonder, diketahuilah bahwa lokasi baru itu penuh dengan batu tua. Kerasnya bukan main. Lama sekali untuk mendiskusikan cara mengatasi batu ini. Akhirnya diputuskanlah tanpa tiang pancang. Ketika keputusan ini disampaikan kepada saya, imajinasi saya langsung ke Makkah. Di sana, di sekitar Masjidilharam itu, lahannya juga bergunung-gunung batu. Tapi, kini berbagai hotel bintang lima sudah mengepung Kakbah. Gunung-gunung batu itu diledakkan dan di atasnya dibangun hotel tanpa tiang pancang. Begitu cepat gunung-gunung batu itu berubah jadi gunung-gunung hotel. PLTU ini begitu vitalnya bagi sistem kelistrikan di Gorontalo sehingga perlu lebih cepat diselesaikan. Gorontalo yang sudah bertahun-tahun krisis listrik kini memang tidak byar-pet lagi. Namun, kecukupan listrik di Gorontalo harus diatasi dengan mesin-mesin sewa yang mahal. Padahal, kalau PLTU ini segera jadi, PLN langsung berhemat ratusan miliar rupiah setahun. Karena itu, saya langsung minta agar peralatan untuk meledakkan gunung ditambah. Demikian juga alat-alat berat lainnya.

Dari Gorontalo kami harus ke Buol yang baru saja rusuh itu. Masalahnya: istirahat dulu di Gorontalo atau langsung ke Buol. Hari sudah senja. Cahaya kuning yang tadi terlihat menyiram laut sudah menjadi hitam. Kalau bermalam di Gorontalo, waktu terbuang. Kalau jalan terus, medannya berat. Jalannya sempit, bergunung-gunung, dan banyak yang belum beraspal. Apalagi hujan baru saja turun. Terus! Ternyata benar. Mobil harus sering berkubang dengan lumpur. Ada yang harus copot celana panjang untuk membuat parit sudetan. Anggota rombongan yang lain mengurangi air genangan dengan memfungsikan tangannya sebagai timba. Untungnya, teman-teman subranting di sebuah kecamatan terpencil itu menyiapkan masakan yang menurut saya luar biasa enaknya: ikan kerapu dan ikan bawal yang dibakar dengan pas dan dengan sambal yang istimewa. Di sini ikan memang sangat segar. Inilah makanan paling enak yang saya nikmati sepanjang perjalanan ini. Sayangnya, istri saya mabuk. Tidak bisa ikut menikmatinya. Pukul 00.30 kami tiba di kota kecil Paleleh. Kaget. Banyak orang berkumpul di pinggir jalan di malam yang gelap dan dingin itu. Ternyata para kepala desa dan camat setempat sengaja menghadang kedatangan kami. Oh, Pak Bupati Buol juga ada di situ. Hebat sekali bupati ini. Tengah malam masih mau menunggu seseorang yang jabatannya hanya Dirut PLN. Saya didaulat untuk berhenti dan mendengarkan keinginan mereka. Di kota kecil ini listrik ternyata hanya menyala 6 jam sehari. Mulai pukul 18.00 sampai pukul 00.00. Mereka minta listrik bisa menyala 24 jam. Saya sangat terharu melihat tekad mereka yang tulus itu. Masyarakat Buol memang sedang bangkit untuk maju. Inisiatif daerah itu sangat besar tanpa harus selalu menunggu uluran tangan pihak luar. Mereka membangun pelabuhan dan bandara sendiri. Juga menyiapkan lahan untuk diberikan kepada PLN kalau mau membangun pembangkit di sana. Maka, kami memprogramkan (saya membedakan antara program dan janji) tepat pada 1 Januari 2011 nanti listrik di Paleleh harus menyala 24 jam. Ketika azan subuh mulai berkumandang di masjid kampung yang sesekali kami lewati, kami belum juga tiba di Buol. Berarti sudah 12 jam perjalanan ini. Mobil memang termehek-mehek. Di jalan yang mulus pun tidak bisa lari kencang. Penyebabnya lain lagi: sapi. Bagian-bagian jalan yang mulus ternyata dipakai tidur sapi dan kambing. Sapi-sapi dan kambing-kambing itu memenuhi sepanjang jalan beraspal. Rupanya aspal lebih hangat untuk tidur malam. Saya tidak ngedumel melihat ini. Saya berpikir positif. Berarti wilayah ini tidak miskin. Berarti wilayah ini aman tenteram. Begitu banyak sapi dan kambing yang tiduran di sepanjang jalan. Ribuan. Tidak ada yang berminat mengangkutnya barang satu ekor sekali pun! Matahari sudah hampir terbit ketika rombongan masuk Kota Buol. Pukul 07.00 saya sudah berjalan kaki ke pelabuhan. Ini memang kebiasaan lama saya. Setiap mengunjungi sebuah daerah, untuk kali pertama saya selalu memerlukan melihat pelabuhannya. Ini untuk melihat prospek ekonomi ke depan wilayah itu. Ini penting untuk menetapkan perencanaan listrik ke depan. Saya memang menginginkan sebuah perencanaan listrik yang tuntas. Bukan perencanaan yang sifatnya mengejar ketertinggalan. Inilah yang dialami PLN sekarang. PLN selalu ketinggalan, lalu mengejar, ketinggalan lagi, lalu mengejar. Itu pun tidak terkejar. Terengah-engah. PLN seperti terus-menerus mengejar bayangan. Akibatnya bisa lelah. Frustrasi. Masa bodoh. Maka, di daerah seperti Buol, yang pelabuhannya dibuat besar, yang bandara barunya terus diperpanjang, yang perkebunan sawit dan cokelatnya terus dipacu harus dibangun pembangkit yang sifatnya tidak lagi mengejar bayangan. Sore itu juga kami sudah bisa tiba di Palu. Kebetulan ada pesawat kecil hari itu. Turun di Bandara Mutiara Palu saya lihat ada seseorang berbandan pendek, berkulit hitam, berbaju merah berada di tengah-tengah teman-teman PLN yang menyambut kedatangan saya. Orang itu menyalami saya dan berkata: terima kasih Pak Dahlan. Kalau PLN tidak bisa menyelesaikan krisis listrik di Palu, Juni lalu saya tidak akan jadi wali kota lagi. Oh, dia itu wali kota Palu. Krisis listrik yang berpuluh-puluh tahun di Palu memang selalu jadi bahan kampanye pilkada. Rupanya, tepat menjelang pilkada itu PLN berhasil menyelesaikan krisis listrik di Palu. Sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan pilkada. Ada atau tidak ada pilkada, krisis harus diatasi. Di Palu ini saya kehilangan uang 300 yuan. Istilah saya “kecopetan”. Hari itu saya ikut taruhan dengan pimpinan unit PLTD Palu. Sebenarnya saya hanya ikut-ikutan. Dia lagi taruhan dengan Wirabumi: mungkinkah kawasan di sekitar tempat pembuangan oli itu bisa bersih di akhir Oktober 2010 nanti. Kepala unit itu bilang bisa. Pak Wirabumi bilang belum tentu. Saya juga meragukannya. Sebab, kawasan di belakang pembangkit diesel itu kotornya bukan main. Juga kumuh. Menghitam. Saya pun ikut mempertaruhkan uang 300 yuan. Rasanya uang itu akan hilang. Saya lihat pimpinan unit di situ akan mampu mengatasinya. Ini terlihat dari bagian dalam gedung PLTD ini. Juga bisa dilihat dari mesin-mesin yang ada di dalamnya. Semuanya sangat-sangat bersih. Padahal, dulunya juga kotor. Dulunya PLTD di sini hanya bisa menghasilkan daya 9 MW. Kini sudah bisa 29 MW! Tanpa ada penambahan apa-apa. Saya yakin soal pembersihan kawasan oli itu pun akan beres tepat pada waktunya. Saya relakan 300 yuan itu. Di Palu saya juga sempat chatting 1,5 jam. Dalam acara ini seluruh karyawan PLN di seluruh Indonesia bisa bertanya dan mengemukakan apa saja kepada saya. Banyak ide bagus, pertanyaan dan aspirasi yang disampaikan lewat chatting itu. Lebih dari 500 karyawan ikut bergabung di diskusi itu, dan tentu; lebih banyak lagi yang menjadi peserta pasif. Di Palu beberapa keputusan strategis juga dibuat: bagaimana agar transmisi 150 kv dari Tentena-Poso-Palu bisa selesai akhir tahun depan. Semula itu dianggap mustahil. Transmisi hampir 200 km tidak akan bisa dikerjakan dalam waktu 16 bulan. Tapi, ternyata ada saja jalan. Proyek itu dipecah menjadi tiga paket tender. Masing-masing mengerjakan sekitar 65 km. Dengan demikian, akhir tahun depan ketergantungan Palu bisa hilang. Listrik yang dihasilkan PLTA Danau Poso bisa dialirkan ke Palu dalam jumlah besar. Organisasi proyek pun akan disederhanakan. Tidak perlu punya banyak asisten manajer. Cukup asmen administrasi/keuangan dan satu koordinator lapangan untuk masing-masing paket. Tujuan berikutnya adalah Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat. Saya baru kali pertama ini ke Mamuju. Kaget. Ada hotel bintang empat yang masih baru. Pelabuhannya juga baru. Bandaranya juga baru. Sejak beberapa bulan lalu tidak ada krisis listrik di sini. Transmisi 150 kv yang menghubungkan Mamuju dengan Makassar sudah selesai. Listrik bisa dikirim dari Makassar. Bukankah Makassar sendiri krisis listrik? Itu dulu. Kini listrik untuk Makassar sudah cukup. Bahkan, seperti yang saya lihat sendiri di control room sore itu, sudah ada cadangan listrik 108 MW. He he … tumben! Makassar kelebihan listrik. Sebuah tumben yang menyenangkan. Di Mamuju gubernur menyiarkan acara dialog. Intinya, bagaimana agar potensi air di Mamuju bisa segera dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Saya pun ambil keputusan. Enam bulan lagi tender untuk PLTA Karamah (300 MW) di Mamuju harus sudah dilakukan. Pukul 05.00 subuh kami bergerak lagi. Kali ini menuju Poliwali dan Barru. Hampir saja ada masalah. Mobil kami tabrakan. Depannya ringsek. Istri saya terlempar dari tempat duduknya.

Kami semua selamat. Alhamdulillah. Kami pun dievakuasi ke mobil Kijang dan bisa sarapan dengan enaknya di kantor PLN ranting Poliwali: nasi kuning, ikan tongkol, ayam kampung bumbu bali, dan kue-kue setempat. Sepanjang pantai barat Sulawesi ini indahnya bukan main. Kelak, kalau wilayah ini kaya dan rumah-rumahnya bagus, kawasan ini tidak akan kalah menarik dengan sepanjang pantai barat Italia menuju Monaco itu. Atau kawasan barat pantai Norwegia dari Bergen ke Tromso itu. Saya percaya kecukupan listriklah salah satu faktor yang penting untuk memajukan ekonomi itu. Karena itu, saya sering bercerita kepada teman-teman PLN bahwa kita ini tidak hanya sekadar bekerja untuk menyediakan listrik, tapi jauh menjangkau yang di belakang itu. Rencananya, kami makan siang di Pare-Pare. Teman-teman cabang setempat sudah mengaturnya. Tapi, beribu maaf, kami harus mendahulukan mengecek PLTU Barru 2 x 50 MW yang tidak jadi-jadi itu. Kami sepakat makanannya dibungkus saja dan dilarikan ke PLTU Barru. Sekali lagi, kami menemukan persoalan di sini. Boiler dan kelengkapannya sudah beres, tapi turbinnya yang molor. Bahkan, fondasi turbinnya belum jadi. Padahal, setelah itu masih harus bikin platform di atasnya sebelum mendudukkan turbin dan mengesetnya. Saya terpaksa agak bicara keras kepada kontraktornya. Tentu dalam bahasa Mandarin sehingga seluruh staf tidak perlu tahu isinya. Tapi, dia juga punya alasan: subkontraktornya terlalu lambat bekerja dan terlalu sedikit mengirim peralatan kerja. Karena subkontraktornya dari Jakarta, tentu banyak teman yang bisa marah dalam bahasa sendiri. Makanan yang dibungkus itu sebenarnya enak sekali. Tapi, suasana marah memang bisa membuat susu sebelanga tidak ada artinya. Kembali ke mobil, istri saya bertanya lirih dengan tenggorokan yang terganjal: kita ke mana lagi? Masih berapa lama lagi? Pertanyaan itu diajukan, rupanya, karena mabuknya tidak lebih baik. Pembangunan jalan yang tidak jadi-jadi antara Pare-Pare hingga Makassar membuat perjalanan lambat, berguncang, dan berdebu. Di dalam pesawat yang membawa saya ke Jakarta saya teringat fakta ini: keadaan listrik Sulawesi saat ini masih seperti di Jawa pada 1978. Inilah dendam yang harus terbalaskan! Dalam perjalanan panjang ini saya seperti mendapat durian runtuh. Nun di Gorontalo, seorang insan PLN memiliki ide brilian untuk memecahkan problem beban puncak yang selalu menyulitkan PLN. Namanya Arifin Akuba. Dia kepala cabang setempat. Saya kaget bahwa dia lulusan Unhas. Saya pikir mahasiswa Unhas itu hanya bisa berantem. Ternyata ada yang brilian seperti Arifin. Saya juga lupa bahwa Wirabumi dan Ahmad Siang itu pun lulusan Unhas. Sarjana elektro Unhas tadi mengusulkan agar di rumah pelanggan dipasang mcb khusus. Mcb ini bisa secara otomatis mengendalikan pemakaian daya pada jam-jam beban puncak. Ide seperti inilah, seperti ide-ide lain yang jumlahnya ratusan dari seluruh insan PLN se-Indonesia, yang membuat saya selalu bersemangat. Saking semangatnya, dari Bandara Makassar saya telepon direksi di Jakarta: bisa nggak dari Bandara Cengkareng saya langsung ke kantor untuk rapat direksi. “Bisa,” jawab semua direksi. Ide ini dan ide-ide yang lahir dari banyak teman di sepanjang perjalanan ini segera jadi keputusan direksi secara utuh. Termasuk mcb model Gorontalo tadi. Hidup ternyata amat indah!

Sumber : Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010
Oleh : Dahlan Iskan, Dirut PLN

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment