Dapat Kawalan Kelas Tamu VIP

WISATAWAN yang baru datang ke Mesir biasanya merasa ”agak aneh” melihat banyaknya polisi yang berjaga di jalan kota-kota Mesir. Bukan hanya di Kairo, tapi juga di kota-kota lain. Saya yang berkesempatan melakukan perjalanan dari ujung paling selatan Mesir sampai ujung paling utara merasakan hal itu.

Tentu, yang paling banyak adalah di Kairo. Mulai kawasan Istana Presiden di Heliopolis, kantor-kantor pemerintahan, bank-bank, pusat perbelanjaan, bahkan sampai di masjid-masjid dan pusat keramaian lain, berderet aparat berseragam putih-putih. Ya, polisi Mesir tidak menggunakan seragam cokelat seperti di Indonesia. Sebab, seragam cokelat digunakan oleh pasukan perang agar warnanya samar dengan padang pasir.

Di sepanjang jalan dalam maupun luar kota, pengunjung akan selalu bertemu pos-pos polisi dan check point untuk memeriksa kendaraan-kendaraan atau orang-orang yang dicurigai dan harus menjalani pemeriksaan mereka. Karena itu, sebagai warga asing, saya selalu membawa paspor ke mana-mana. Apalagi di jalan tol, mau tidak mau, kita akan bertemu dengan check point yang dijaga ketat polisi.

Kalau dicermati, kita akan tahu bahwa polisi-polisi itu ternyata memiliki tugas yang berbeda-beda. Ada polisi kriminal, polisi lalu lintas, dan polisi wisata. Pada umumnya mereka mengenakan seragam putih-putih. Kecuali para reserse atau intel yang mengurusi kasus kriminalitas atau politik, mereka berpakaian bebas. Yang terakhir itu dikenal dengan nama mabahis dan selalu terlihat menyandang senjata di balik bajunya. Sedangkan polisi lain menenteng senjata laras panjang.

Pada setiap check point, selalu ada polisi wisata, polisi lalu lintas, dan mabahis. Para polisi wisata mengenakan tanda di lengannya yang bertulisan: Police for Turism. Kebanyakan tidak menyandang senjata, kecuali pangkat tertentu. Tugasnya, memberikan pelayanan keamanan dan kenyamanan kepada para wisatawan.

Beberapa kali saya menerima uluran tangan mereka, terutama saat melakukan ekspedisi Sungai Nil pada Ramadan lalu. Yang pertama, ketika menuju kawasan Abu Simbel di perbatasan Sudan. Daerah-daerah perbatasan seperti itu memang agak rawan sehingga semua wisatawan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan sendiri. Setiap rombongan harus dikawal polisi wisata. Maka, saya melihat sepanjang perjalanan Aswan-Abu Simbel yang berjarak sekitar 250 km, nyaris tidak ada mobil pribadi, kecuali warga setempat.

Yang kedua, saya mendapat pengawalan kelas VIP ketika berada di sekitar Kota Asyut, sekitar 300 km selatan Kairo. Sejak memasuki hotel, saya dan tim ekspedisi berada dalam pengawasan mereka, tanpa kami sadari. Saat check in, petugas hotel menyodori formulir isian seperti ketika melewati counter imigrasi di bandara. Di tempat itu, saya harus menuliskan berbagai indentitas, termasuk nomor paspor, jenis visa, tempat tinggal, dan tujuan datang ke Asyut, serta mau melanjutkan ke kota mana esok harinya, pada pukul berapa.

Ternyata, data tersebut diteruskan ke kantor polisi wisata. Esok hari, persis sebelum waktu check out, sudah ada patwal berupa mobil polisi dan sepeda motor besar di depan hotel yang mengapit mobil kami. Bahkan sebelum itu, saat joging pagi setelah subuh, saya bertemu dengan seorang mabahis berpakaian preman di depan hotel, yang selalu mendekati saya dan mengajak ngobrol sambil mengorek-korek keterangan tentang identitas dan tujuan perjalanan saya.

Maka, perjalanan tim ekspedisi di Kota Asyut seperti rombongan VIP saja. Tidak hanya menyusuri jalan utamanya, ketika kami membutuhkan mengisi BBM (bahan bakar minyak) pun, mereka mau mengantarnya ke jalan yang agak sempit tapi ramai. Meski dalam pengawalan ketat, kami tetap bisa melaju dengan lancar. Ketika kami mampir di stasiun pengisian BBM, kami juga memperoleh pelayanan khusus.

Untuk menghargai pelayanan khusus itu, saya menyarankan kepada Yovi dan Dadan -anggota tim ekspedisi- memberikan sekadar tip beberapa pound kepada mereka. Tetapi, menurut kawan-kawan saya itu, mereka lebih suka menerima pemberian air mineral untuk memupus rasa haus bekerja di kawasan padang pasir yang panas daripada diberi uang. Maka, kami pun membeli sekardus air mineral botolan, kemudian membagi-bagikannya kepada para polisi itu. Dan, benar, mereka sangat gembira menerimanya.

Tapi, ada juga polisi yang sering mengungkapkan kalimat kullu tamam (segala sesuatunya oke, AM)? Polisi-polisi itu berarti meminta fulus atau uang. Semula saya spontan menjawab: tamam (oke), syukron ya basya (terima kasih Tuan), tanpa mengerti maksud di baliknya. Kawan-kawan saya lalu membisiki bahwa polisi yang bertanya seperti itu biasanya tidak hanya ”membutuhkan” air mineral dan kata ”terima kasih”, melainkan mesti harus ada fulus yang disertakan di balik botol yang kita ulurkan! He he he, ternyata di Mesir ada juga polisi yang cari ceperan. (*/c7/ari)

Sumber : Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010 ]

Oleh : Agus Mustofa bisa dikontak di agusmustofa_63@yahoo.com/ facebook|agus mustofa.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment